Yang tidak sempurna wajib kecuali dengannya, maka ia adalah wajib
ما لا يتم الواجب إلا به فهو الواجب
Orang yang sering melakukan kajian fiqh, qaidah ini merupakan hal yang tidak asing lagi kedengarannya. Hal itu dikarenakan banyak
sekali kasus-kasus fiqh yang diselesaikan hukumnya dengan merujuk
kepadanya. Untuk itu, sangatlah perlu qaidah ini dikaji secara mendalam,
baik pendapat ulama mengenai qaidah ini maupun dari sisi pengertiannya.
Dengan demikian diharapkan tidak terjadi kesalahan dalam penerapannya
yang dapat melahirkan produk-produk hukum yang salah kaprah dan jauh
dari semestiny.
Kitab-kitab karya ulama yang menyebut qaidah ini
Para ulama yang menyebut qaidah ini dengan pembahasan secara khusus dalam kitab mereka, antara lain :
1. Zakariya al-Ashari dalam kitab beliau, Ghayatul Wushul[1]
3. Zarkasyi, dalam kitabnya, Bahrul Muhith.[4]
4. Imam al-Ghazali dalam kitabnya, al-Mushtashfa.[5]
5. Dan lain-lain
Pengertian qaidah ini
Zakariya al-Anshari dalam kitabnya, Ghayatul Wushul menyebut qaidah ini dengan radaksi berikut ini :
الفعل المقدور للمكلف الذي لا يتم أي يوجد عنده الواجب المطلق إلا به واجب بوجوب الواجب في الأصح
Artinya
: Perbuataan yang berada dibawah kemampuan seorang mukallaf yang tidak
sempurna wajib yang mutlaq (tidak didapati di sisinya wajib yang mutlaq)
kecuali dengan sebabnya, maka itu adalah wajib dengan sebab diwajibkan
sesuatu yang wajib itu menurut pendapat yang lebih shahih.[6]
Penjelasannya
1. Al-maqdur
bermakna perbuataan yang berada dibawah kemampuan seorang mukallaf.
Dengan demikian, perbuatan yang tidak berada di bawah kemampuan seorang
mukallaf seperti qudrah dan iradah Allah tidak termasuk dalam katagori
qaidah ini, meskipun melakukan suatu perbuatan tergantung kepada qudrah
dan iradah-Nya. Perbuataan yang berada dibawah kemampuan seorang
mukallaf itu baik dalam bentuk sebab seperti api bagi membakar maupun
syarat seperti wudhu’ bagi shalat sebagaimana ditegaskan oleh Zakariya
al-Anshari.[7]
2. Wajib
yang mutlaq bermakna kewajibannya tidak diqaidkan dengan perbuatan
yang tidak sempurnanya kecuali dengan sebabnya itu sendiri. Karena itu,
masalah seperti zakat yang diqaidkan kewajibannya dengan kepemilikan
nisab tidak termasuk dalam katagori qaidah ini. Dengan demikian, tidak
dapat ditetapkan hukum bahwa mengusahakan kepemilikan nisab adalah
wajib, dengan beralasan tidak sempurna menunai zakat kecuali dengan
memiliki nisab. Hal itu karena perintah menunai zakat diqaidkan dengan
kepemilikan zakat, misalnya zakat biji-bijian dan kurma yang diqaidkan
dengan sampai nisab lima wasaq sebagaimana sabda Nabi SAW :
لَيْسَ فِى حَبٍّ وَلاَ تَمْرٍ صَدَقَةٌ حَتَّى يَبْلُغَ خَمْسَةَ أَوْسُقٍ
Artinya : Tidak ada zakat pada biji-bijian dan buah-buahan sehingga banyak lima wasaq (H.R. Muslim)[8]
Contoh
lain adalah kewajiban menunai haji yang diqaidkan dengan mampu
bepergian ke Baitullah di Makkah sebagaimana firman Allah Q.S. Ali Imran
: 97 berbunyi :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
Artinya : Allah mewajibkan haji ke baitullah kepada manusia yang kuasa pergi ke sana (Q.S. Ali Imran : 97)
Karena
itu, meskipun kewajiban menunai haji tergantung kepada kemampuan pergi
ke baitullah, tetapi mengusaha kemampuan pergi ke baitullah, hukumnya
tidak wajib, karena tidak termasuk dalam katagori qaidah di atas.
3. Contoh-contoh
yang memenuhi kriteria qaidah di atas, antara lain, kewajiban shalat
yang tergantung kepada wudhu’. Maka wudhu’ juga wajib, karena tidak
sempurna kewajiban shalat kecuali dengan berwudhu’, sedangkan kewajiban
shalat tidak diqaidkan dengan berwudhu’ sebagaimana firman Allah :
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Artinya : Dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan yang keji dan mungkar.(Q.S. al-Angkabut : 45)
Al-Subki menyebutkan contoh-contoh qaidah ini antara lain :
a. Apabila
tidak diketahui lagi posisi najis yang diyakini ada pada pakaian atau
badan, maka wajib dibasuh seluruhnya. Demikian juga pabila pada rumah.
Namun pendapat lain mengatakan, kalau pada rumah tidak wajib basuh
semuanya.
b. Apabila lupa salah satu shalat yang lima, maka wajib qadha semuanya
c. Apabila
tidak diketahui lagi mana yang isterinya di antara perempuan lain yang
haram atasnya, maka wajib menghindari dari semuanya[9]
Pendapat Ulama mengenai status qaidah ini
1. Qaidah di atas dengan penjelasannya merupakan pendapat kebanyakan ulama
2. Pendapat
kedua mengatakan, tidak wajib perbuatan tersebut secara mutlaq dengan
sebab diwajibkan suatu kewajiban. Alasannya, dalil yang menunjukkannya
diam darinya.
3. Pendapat
ketiga mengatakan, wajib jika perbuatan tersebut merupakan sebab,
seperti api bagi membakar. Perbedaannya, sebab dan musabbab lebih kuat
hubungannya dibandingkan syarat dan masyruth.
4. Imam
Haramain mengatakan, wajib jika perbuatan tersebut merupakan syarat
syar’i seperti wudhu’ bagi shalat, tidak syarat ‘aqli seperti
meninggalkan lawan wajib ataupun syarat ‘adi seperti membasuh sebagian
kepala bagi membasuh wajah pada wudhu’.[10]
[1] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, hal. 29
[2]Tajuddin al-Subki, Jam’ul Jawami’,
dicetak bersama syarahnya dalam Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’ul
Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 192-193
[3] Tajuddin al-Subki, al-Asybah wal-Nadhair, Maktabah Syamilah, Juz. II, hal. 90
[5] Al-Ghazali, al-Mushtashfa, Maktabah Syamilah, Juz. I, hal. 138
[6] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, hal. 29
[7] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, hal. 29
[8] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. 3, Hal. 66, No. Hadits : 2315
[9] Al-Subki, al-Asybah wal-Nadhair, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 90-91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar