Qiyas pada Ibadah, oleh Tgk Alizar Usman, S.Ag. M. Hum
Salah
satu doktrin yang sangat sering muncul dalam dakwah sebagian umat Islam
dewasa ini adalah “tidak ada qiyas dalam ibadah”, bahkan pernyataan
tersebut seperti sudah dianggap sebagai sebuah qaidah yang baku yang
tidak dapat dibantah lagi. Yang lebih parah lagi, dengan pernyataan
tersebut, mereka menuduh golongan mayoritas muslim lainnya yang tidak
sesuai dengan paham mereka sebagai pelaku bid’ah yang sesat. Untuk itu,
penulis berkeinginan membahas masalah ini dengan merujuk kepada
keterangan-keterangan para ulama Islam yang tidak diragukan lagi
keilmuannya dan tentunya dengan mengikutinya dengan
argumentasi-argumentasi yang diakui dalam Islam.
Qiyas dan kedudukannya dalam penetapan hukum
Qiyas
adalah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya
dengan hukum suatu peristiwa yang sudah ada nashnya karena adanya
persamaan ‘illat hukumnya dari kedua peristiwa itu. Misalnya, penetapan
padi sebagai jenis riba karena dipersamakan hukumnya dengan hukum
gandum, karena persamaan ‘illatnya, yaitu sama-sama jenis makanan.
Sedangkan gandum dihukum sebagai jenis riba berdasarkan sabda Nabi SAW :
الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ
وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا
اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ
يَدًا بِيَدٍ
Artinya
: Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir
dengan sya’ir, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, hendaklah sama
banyaknya dan tunai. Apabila berlainan jenisnya, maka juallah
sekehendak hatimu asal dengan jalan tunai (H.R. Muslim)[1]
Para
ulama (kecuali kelompok syaz/ganjil) berpendapat bahwa qiyas dengan
syarat-syaratnya merupakan salah satu sumber hukum dalam Islam dengan argumentasi, antara lain :
1. Firman Allah Q.S. al-Nisa’ : 59, berbunyi :
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
Artinya : Apabila kamu berbeda pendapat tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (al-Sunnah) (Q.S. al-Nisa’ :59)
Dalam
ayat di atas diperintahkan apabila terjadi perselisihan pendapat
mengenai suatu hukum terhadap suatu peristiwa supaya dikembalikan kepada
al-Qur’an dan al-Sunnah. Cara mengembalikan ini dengan merujuk kepada
nash-nash dari al-Qur’an dan al-Sunnah apabila ada nash yang jelas
menerangkannya, sehingga dengan sebab itu dapat menghilangkan perbedaan
tersebut. Namun apabila terjadi perbedaan pendapat tersebut justru
terjadi karena berbeda pendapat dalam memahami nash-nash al-Qur’an dan
al-Sunnah, karena tidak ada nash
yang jelas yang dapat menghilangkan perbedaan pendapat itu, maka
tentunya, cara mengembalikan kepada nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah
adalah dengan cara menyamakan hukum peristiwa yang tidak ada nashnya
dengan hukum peristiwa yang ada nashnya. Tindakan penyamaan ini disebut
dengan qiyas dalam istilah ushul fiqh.
2. Rasululah
SAW sendiri memerintah seseorang untuk membayar haji nazar ibunya yang
sudah meninggal dunia dengan berargumentasi, diqiyaskan kepada kewajiban membayar hutang ibunya yang sudah meninggal dunia. Kasus tersebut dapat disimak dalam hadits dari Ibnu Abbas, beliau berkata :
أَنَّ
امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى
مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ
كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ
أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
Artinya
: Seorang perempuan dari Juhainah, menghadap Rasulullah SAW seraya
berkata : “Sesungguhnya ibuku pernah bernazar melakukan haji, tetapi dia
tidak sempat melakukannya sehingga dia meninggal dunia, apakah aku
dapat melakukan haji untuknya ?” Rasulullah SAW menjawab : “Ya, lakukan
haji untuknya. Tahukah kamu, seandainya ibumu mempunyai hutang, apakah
kamu melunasinya ?. Tunaikanlah hutang-hutang Allah, sebab hutang Allah
lebih patut dipenuhi (H.R. Bukhari)[2]
Kehujjahan qiyas pada ibadah
Apabila
kita menerima qiyas sebagai salah satu sumber hukum dalam menetapkan
hukum syara’, maka tentunya tidak dapat dikecualikan suatu perkara hukum
syara’ dari kebolehan menjadikan qiyas dalam penetapan hukumnya kecuali
ada dalilnya. Kita tidak menemukan dalil yang dapat mengecualikan
perkara-perkara ibadah dari kebolehan qiyas padanya. Karena itu,
kehujjahan qiyas juga berlaku pada perkara ibadah sebagaimana berlaku
pada perkara syara’ lainnya. Setiap perkara syara’ yang dapat diketahui ‘illah-nya
dan memenuhi persyaratan lainnya pada qiyas dapat diberlakukan qiyas
padanya, dalam hal ini tidak terkecuali perkara ibadah. Oleh karena itu,
Imam Syafi’i dalam kitab beliau, al-Um menolak qiyas serban, kelubung
dan sarung tangan kepada menyapu sepatu sehingga hukumnya, boleh menyapu
saja sebagai ganti membasuh anggota wudhu’ sebagaimana hukum menyapu
dua sepatu. Penolakan Syafi’i ini bukan karena menyapu sepatu dalam bab
wudhu’ ini merupakan perkara ibadah, tetapi hanya karena ia merupakan
perkara ta’abudi, yaitu sesuatu yang tidak dapat dipahami ‘illah-nya, dengan demikian qiyasnya tidak sah karena ‘illah hukum yang menjadi persyaratan qiyas tidak terpenuhi. Pernyataan Imam Syafi’i dimaksud adalah :
“Kami
mengatakan mengenai menyapu dua sepatu tidak dapat diqiyas atasnya
serban, kelubung dan dua sarung tangan. Demikian kami katakan
tentangnya, karena ia merupakan fardhu wudhu’ yang dikhususkan dua
sepatu secara khusus. Karena itu, ia merupakan ta’abudi yang tidak ada
qiyas padanya.”[3]
Sedangkan perkara-perkara ibadah yang dapat dipahami ‘illah-nya,
boleh saja dilakukan qiyas padanya sebagaimana Imam Syafi’i melakukan
qiyas pada ibadah, beliau mengqiyaskan masalah najis babi kepada anjing
dalam hal kewajiban membasuh bekas jilatannya tujuh kali, salah satunya
dicampur dengan tanah.[4] Padahal sebagaimana dimaklumi kewajiban membasuh najis termasuk perkara ibadah.
Perlu
dicatat bahwa perkara-perkara ibadah ada yang bersifat ta’abudi
sebagaimana masalah menyapu sepatu pada bab wudhu’ diatas dan ada juga
yang bukan ta’abudi (dapat diketahui ‘illah-nya) sebagaimana
contoh-contoh qiyas pada perkara ibadah yang dikemukakan oleh para ulama
sesudah ini.
Dalil
lain yang mendukung bahwa qiyas pada ibadah dapat menjadi hujjah dapat
diperhatikan pada point-point berikut ini, antara lain :
1. Rasulullah SAW mewajibkan membayar haji nazar seseorang yang sudah meninggal dunia atas ahli warisnya dengan mengqiyaskan kepada kewajiban membayar
hutang orang yang sudah meninggal dunia, sesuai dengan hadits dari Ibnu
Abbas diatas. sedangkan amalan haji tersebut merupakan suatu ibadah
2. Rasulullah
SAW pernah mengatakan bahwa menciumi isteri tidak membatalkan puasa
dengan mengqiyaskan kepada kepada berkumur-kumur, sedangkan puasa adalah
ibadah. Peristiwa ini tergambar dalam hadits riwayat Umar bin Khatab,
beliau berkata :
هششت
يوما فقبلت وأنا صائم فأتيت النبي صلى الله عليه و سلم فقلت صنعت اليوم
أمرا عظيما فقبلت وأنا صائم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم أرأيت لو
تمضمضت بماء وأنت صائم قلت لا بأس بذلك فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم
ففيم
Artinya
: Pada suatu hari aku terpesona, lalu aku mencium isteriku, padahal aku
dalam keadaan berpuasa. Kemudian aku menghadap Nabi SAW, terus bertanya
: “Hari ini aku telah melakukan perkara yang besar, yakni aku mencium
isteriku, padahal aku berpuasa.” Lalu Rasulullah SAW bersabda :
“Bagaimana pendapatmu andai kata kamu berkumur-kumur, padahal kamu
berpuasa ?” “Hal itu tidak mengapa,” sahutku. Maka kenapa (kamu
menanyakannya) ? jawab Rasulullah SAW lebih lanjut. (H.R. Ahmad )[5]
Al-Hakim juga meriwayatkan hadits ini dalam al-Mustadrak, kemudian beliau berkata :
“Hadits ini shahih atas syarat syaikhaini, tetapi keduanya tidak mentakhrijnya.”[6]
Berdasarkan
uraian di atas, maka umumnya ulama terkenal tempo dulu dan sering
menjadi rujukan dalam bidang ushul fiqh atau fiqh berpendapat qiyas pada
ibadah dibolehkan dan dapat dijadikan hujjah selama qiyas tersebut
memenuhi persyaratannya. Kesimpulan ini dapat pahami dari
keterangan-keterangan sebagai berikut, antara lain :
1. Zakariya al-Anshari mengatakan :
“Qiyas
merupakan hujjah pada urusan duniawi, demikian juga pada selainnya,
seperti urusan syar’iyah menurut pendapat yang lebih shahih kecuali
urusan ‘adat, khalqiah, tentang hukuman dan qiyas atas nash yang
mansukh”[7]
Zakariya
al-Anshari dalam kitab beliau, Ghayatul Wushul yang cukup terkenal di
Indonesia itu mengatakan qiyas menjadi hujjah dalam semua urusan syara’
dengan mengecualikan urusan ‘adat, khalqiah, tentang hukuman dan qiyas
atas nash yang mansukh. Beliau tidak mengecualikan urusan ibadah. Dengan
demikian, beliau termasuk ulama yang memboleh qiyas pada ibadah.
2. Al-Subky, setelah menyebutkan bahwa ada sekelompok orang yang melarang qiyas pada pokok-pokok ibadah, beliau mengatakan :
“Menurut pendapat yang shahih, qiyas merupakan hujjah kecuali pada urusan ‘adat, khalqiah dan tentang hukuman.”[8]
3. Imam al-Ghazali mengatakan :
“Setiap hukum syar’i yang mungkin ta’lil-nya (diketahui ‘illah-nya), maka qiyas berlaku padanya.”[9]
4. Imam
al-Nawawi, salah seorang ulama terkenal bermazhab Syafi’i pernah
mengqiyaskan shalat Jum’at kepada shalat Dhuhur dalam hal sunnat shalat
qabliyah, beliau mengatakan :
“Adapun
shalat sunnat sebelum Jum’at, yang menjadi pegangannya adalah hadits
Abdullah bin Maghfal yang telah disebutkan pada furu’ sebelumnya ; “Pada
setiap dua azan itu adalah shalat” dan dengan mengqiyaskan kepada
shalat dhuhur.”[10]
5. Ibnu
al-Arabi, tokoh ulama dari Mazhab Maliki menjelaskan bahwa jumhur ulama
berpendapat bahwa aib seperti buta dan pecah betis tidak memadai untuk
binatang qurban dengan mengqiyaskan kepada aib-aib yang disebut dalam
hadits, yaitu pincang, buta sebelah, sakit berat dan sangat kurus,[11] sedangkan qurban sebagaimana dimaklumi merupakan ibadah.
6. Imam
Malik berpendapat diulangi kembali shalat wajib yang telah dilakukan
dalam Ka’bah apabila masih dalam waktunya dengan mengqiyaskan kepada
shalat ke arah bukan qiblat[12]
7. Ahmad
bin Hanbal telah mengqiyaskan masalah memandikan dan shalat jenazah
atas orang yang mati dibunuh pencuri kepada orang yang mati syahid.[13]
8. Imam
al-Nawawi mengatakan telah terjadi ijmak ulama wajib qadha shalat yang
ditinggalkan dengan cara sengaja. Sandaran ijmak ini menurut beliau
adalah dengan mengqiyaskan kepada kewajiban qadha puasa Ramadhan yang
ditinggalkan dengan sebab sengaja bersetubuh dan juga mengqiyaskan
kepada qadha shalat yang ditinggalkannya secara lupa. Logikanya, kalau
secara lupa wajib qadha, tentu yang secara sengaja lebih patut
diwajibkannya.[14]
9. Qiyas
dalam bidang ibadah dalam Mazhab Abu Hanifah merupakan metode
pendalilian yang sangat populer dibanding mazhab lain. Karena itu, Dr
Mahmud Ahmad Zain seorang pakar fiqh kontemporer dari Timur Tengah
mengatakan tidak diperlukan memberi contohnya karena semua orang
memakluminya.[15]
[1] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 44, No. Hadits : 4147
[2] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 22, No. Hadits : 1852
[3] Imam Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 186
[4] Imam Syafi’i, al-Um, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 6
[5] Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 21, No. Hadits : 138
[7] Zakariya al-Anshari, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 110-111
[8] Al-Subky, Jam’ul Jawami’, dicetak bersama
syarahnya dalam Hasyiah al-Banany ‘ala Syarh Jam’il Jawami’, Darul Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 206-210
[9] Al-Ghazali, al-Mushtashfa, al-Mathba’ah al-Amiriyah, Mesir, Juz. II, Hal. 332
[10] Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, juz. IV, Hal. 9
[11] Ibnu al-Arabi, Bidayah al-Mujtahid, Usaha Keluarga, Semarang, Juz. I, Hal. 315-316
[12] Malik bin Anas, al-Mudawanah al-Kubra, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 183
[13] Abdullah bin Ahmad, Masail al-Imam Ahmad bin Hanbal, al-Maktab al-Islamy, Beirut, Hal. 135
[14] Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 76
[15] Dr. Mahmud Ahmad Zain, al-Bayan al-Nabawi ‘an fadhl al-Ihtifal bi Maulid al-Nabi SAW, Dar al-Buhuts li Diratsaat al-Islamiyah wa Ihya al-Turatsi, Dubai, Hal. 52
Tidak ada komentar:
Posting Komentar