إِنَّ هَذَا يَوْمُ عِيدٍ، جَعَلَهُ
اللَّهُ لِلْمُسْلِمِينَ، فَمَنْ جَاءَ إِلَى الْجُمُعَةِ فَلْيَغْتَسِلْ،
وَإِنْ كَانَ طِيبٌ فَلْيَمَسَّ مِنْهُ، وَعَلَيْكُمْ بِالسِّوَاكِ
"Sesungguhnya ini adalah hari raya yang telah Allah jadikan bagi kaum
muslimin. Barangsiapa menghadiri shalat jum'at hendaklah mandi, jika
mempunyai minyak wangi hendaklah mengoleskannya, dan hendaklah kalian
bersiwak. " (Sunan Ibnu Majah, no.1098)
Syaikh Abul Hasan Ubaidillah bin Muhammad Abdussalam Al-Mubarokfuri
dalam kitab beliau “Mir’atul Mafatih Syarah Misykatul Mashobih”
menjelaskan bahwa hari jum’at adalah hari raya bagi kaum muslimin karena
itulah kita dianjurkan untuk membersihkan diri dan memakai wewangian.
Adapun mengenai kesunahan mandi pada hari jum’at, menurut pendapat
mayoritas ulama’ kesunahan mandi pada hari ini hanya berlaku bagi orang
yang akan merlaksanakan sholat jum’at sebagaimanaketerangan dalam hadits
yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah diatas. Sedangkan menurut pendapat
Syaikh Muhammad, Syaikh Abu YTusuf dan Imam Dawud kesunahan mandi pada
hari jum’at mencakup anak-anak, wanita, lelaki dewasa, dan budak, jadi
kesunahan ini byukan hanya berlaku bagi orang yang akan melaksanakan
sholat jum’at. Setelah menguraikan 2 pendapat ini, beliau menyatakan
bahwa, yang dhohir adalah bahwa pada hari jum’at terdapat 2 mandi:
pertama; mandi yang dilakukan untuk hari jum’at dan kedua; mandi yang
dikerjakan ketika hendak menunaikan hari jum’at. Ini berarti jika ada
orang yang mengerjakan mandi sebelum sholat jum’at maka ia mendapatkan 2
keutamaan mandi (mandi hari jum’at dan mandi sebelum sholat jum’at),
sedangkan orang yang mandi setelah sholat jum’at hanya mendapatkan satu
keutamaan saja, yaitu mandi pada hari jum’at dan tak mendapatkan
keutamaan mandi sebelum hari jum’at yang pahalanya besar karena mandi
sebelum sholat jum’at hukumnya diperselisihkan dikalangan ulama’
sebagian menyatakan hukumnya sunah mu’akkad dan sebagian lainnya
menyatakan hukumnya wajib.
2. Dimakruhkannya puasa pada hari jum’at jika sebelum dan atau
sesudahnya tidak melakukan puasa. Imam Bukhari dan Imam Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الجُمُعَةِ، إِلَّا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ
"Janganlah seorang dari kalian berpuasa pada hari Jum'at kecuali dibarengi dengan satu hari sebelum atau sesudahnya". (Shahih Bukhari, no. 1985, Shahih Muslim, no.1144. Adapun yang tertera disini adalah redaksi Imam Bukhari)
Imam Bukhari meriwayatkan dari Juwairiyah “ummul mu’minin” (ibunda kaum mukmin, istri Rasulullah) radhiyallahu ‘anha,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، دَخَلَ عَلَيْهَا يَوْمَ الجُمُعَةِ وَهِيَ صَائِمَةٌ، فَقَالَ:
«أَصُمْتِ أَمْسِ؟»، قَالَتْ: لاَ، قَالَ: «تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِي
غَدًا؟» قَالَتْ: لاَ، قَالَ: فَأَفْطِرِي
“Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menemuinya pada hari
Jum'at ketika dia sedang berpuasa. Beliau bertanya: "Apakah kemarin kamu
juga berpuasa?" Dia menjawab: "Tidak". Beliau bertanya lagi: "Apakah
besok kamu berniat berpuasa?" Dia menjawab: "Tidak". Maka Beliau
berkata: "Berbukalah (batalkan puasamu)" (Shahih Bukhari, no.1986)
Menurut pendapat yang shohih dalam madzhab syafi’i dan juga pendapat
mayoritas ulama’ puasa pada hari jum’at secara tersendiri hukumnya
makruh, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi.
Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa hikmah dari dimakruhkannya puasa pada
hari jum’at secara tersendiri adalah dikarenakan hari jum’at merupakan
hari yang dianjurkan untuk memperbanyak amal ibadah berupa dzikir, do’a,
membaca qur’an dan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam. Oleh karena itu disunahkan untuk tidak berpuasa pada
hari ini agar dapat membantu pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut
dengan giat tanpa kebosanan. Hal ini seperti halnya anjuran yang
diperuntukkan bagi orang haji yang sedang berada di padang arafah, yang
lebih utama baginya adalah tidak melakukan puasa karena hikmah yang sama
seperti dalam hal kemakruhan puasa jum’at.
Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari sayyidina Ali karramallahu wajhah;
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَطَوِّعًا مِنَ
الشَّهْرِ أَيَّامًا، فَلْيَكُنْ صَوْمُهُ يَوْمَ الْخَمِيسِ، وَلَا
يَصُومُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، فَإِنَّهُ يَوْمُ طَعَامٍ وَشَرَابٍ، وَذِكْرٍ
“Barangsiapa diantara kalian yang mengerjakan amalan sunah beberapa
dari satu bulan, maka hendaklah puasanya dikerjakan pada hari kamis, dan
tidak berpuasa pada hari jum’at, karena sesungguhnya hari jum’at adalah
hari makan , minum (tidak berpuasa), dan berdzikir”. (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.9243)
Sedangkan menurut pendapat yang dipilih oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar,
hikmah dari kemakruhan puasa pada hari jum’at adalah bahwa hari jum’at
adalah hari raya kaum muslimin, dan sebagaimana yang dudah diketahui
pada hari raya kita dilarang untuk berpuasa. Hal ini dikuatkan dengan
hadits marfu’ dari Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam Hakim;
يَوْمُ الْجُمُعَةِ عِيدٌ فَلَا تَجْعَلُوا يَوْمَ عِيدِكُمْ يَوْمَ صِيَامِكُمْ إِلَّا أَنْ تَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ
“Hari jum’at adalah hari raya, maka jangan kalian jadikan hari raya
kalian sebagai hari puasa kalian kecuali jika sebelum atau sesudahnya
kalian berpuas.” (Al-Mustadrak, no.1595)
Sedangkan menurut pendapat lain yang dipilih oleh Imam Suyuthi, hikmah
dari kemakruhan puasa pada hari jum’at adalah untuk menyelisihi
orang-orang yahudi dimana mereka berpuasa pada hari raya mereka.
3. Dimakruhkannya melakukan ibadah yang khusus pada malam harinya.
Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ
بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي، وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ
بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ
يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ
"Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum'at dengan shalat malam di
antara malam-malam yang lain, dan jangan pula dengan puasa, kecuali
memang bertepatan dengan hari puasanya." (Shahih Muslim, no.1144)
Dalam kitab Syarah Shohih Muslim imam Nawawi menjelaskan bahwa didalam
hadits ini terdapat larangan yang jelas mengenai pelaksanaan sholat yang
khusus dilakukan pada malam jum’at, dan kemakruhan ini telah disepakati
oleh semua ulama’.
4. Kesunahan membaca surat As-Sajdah dan Al-Insan pada sholat shubuh
hari jum’at. imam Bukhari dan imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، يَوْمَ الْجُمُعَةِ: الم
تَنْزِيلُ السَّجْدَةِ، وَهَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ
الدَّهْرِ
“bahwanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika mengerjakan shalat
Shubuh pada hari Jum'at, beliau membaca: "ALIF LAAM MIIM TANZIIL"
(surat As Sajadah) dan, "HAL ATAA 'ALAL INSAANI HIINUM MINAD DAHRI"
(surat Al Insan). (Shahih Bukhari, no.891, Shahih Muslim, no.879. Yang ditampilkan disini adalah redaksi Imam Muslim).
Dalam riwayat lainnya terdapat tambahan mengenai penempatan bacaan kedua surat ini, seperti yang terdapat dalam shahih Muslim;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ، يَوْمَ
الْجُمُعَةِ: بِالم تَنْزِيلُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى، وَفِي
الثَّانِيَةِ هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ لَمْ
يَكُنْ شَيْئًا مَذْكُورًا
“Dari Abu Hurairah bahwa dalam shalat Shubuh pada hari Jum'at
biasanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membaca "ALIF LAAM MIIM
TANZIIL" (surat As Sajadah) pada raka'at pertama, dan pada raka'at
kedua, "HAL ATAA 'ALAL INSAANI HIINUM MINAD DAHRI LAM YAKUN SYAI`AN
MADZKUURAA." (surat Al Insan).” (Shahih Muslim, no.880)
Imam Suyuthi menjelaskan; dikatakan bahwa hikmah membaca kedua surat
tersebut adalah sebagai isyarat mengenai kandungan 2 surat tersebut yang
menjelaskan tentang penciptaan nabi Adam -‘alaihis salam- dan
keadaan-keadaan pada hari kiamat, sebab hari kiamat akan terjadi pada
hari jum’at sebagaimana yang oleh Ibnu Dihyah.
Beliau menambahkan; namun menurut sebagian ulama’ tujuan disunahkannya
membaca surat tersebut adalah agar terdapat sujud tambahan dalam sholat
subuh pada hari jum’at (maksudnya karena yang dibaca adalah surat
As-Sajdah yang didalamnya terdapat ayat yang ketika membacanya
disunahkan untuk melakukan sujud tilawah maka akan terdapat sujud
tambahan dalam sholat tersebut). Pendapat ini dikuatkan dengan riwayat
Imam Ibnu Abi Syaibah dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata:
مَا صَلَّيْتُ خَلْفَ ابْنِ عَبَّاسٍ، يَوْمَ الْجُمُعَةِ الْغَدَاةَ، إِلَّا قَرَأَ بِسُورَةٍ فِيهَا سَجْدَةٌ
“Aku tak pernah sholat dibelakang Ibnu Abbas pada pagi hari jum’at
(sholat shubuh) kecuali beliau membaca surat yang didalamnya terdapat
sujud (sujud tilawah) ” (Mushonnaf Ibnu Abi Syaibah, no.5445).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar