A. DESKRIPSI MASALAH
Shalat berjamaah adalah salah satu syiar Islam yang harus kita
pertahankan, sebab di balik pelaksanaan shalat berjamaah terdapat hikmah
yang sangat besar. Salah satu diantaranya adalah seperti disabdakan
Rasulullah SAW.:
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ اَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً, متفق عليه
"Shalat yang didirikan secara berjamaah itu lebih utama ketimbang shalat
sendirian dengan (ketutamaan) dua puluh tujuh derajat" (shahih Muslim,
juz 1 hlm, 450).
Demikianlah salah satu motivasi spiritual yang dilontarkan baginda Nabi
SAW. di tengah-tengah umatnya. Dalam pelaksanaan shalat berjamaah, ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi. Berbagai literatur fiqh
menyebutkan, bahwa salah satu syarat shalat berjamaah adalah "makmum
harus mengetahui gerakan imam".
Perkembangan zaman terus meningkat. Seiring dengan perkembangannya,
manusianya pun kian kreatif. Salah satu bentuk kreatifitas yang mereka
pamerkan ke permukaan adalah bentuk bangunan yang semakin modis, mesjid
yang dulunya hanya memiliki teras, saat ini meningkat menjadi berlantai
ganda, bahkan –di sebagian kota metropolitan—kita menjumpai mesejid yang
berlantai lima.
Desain mesjid seperti ini menyebabkan sebagian besar makmum tidak bisa
melihat gerakan imammnya. Oleh karena itu, banyak upaya yang dilakukan
takmir mesjid agar makmum tetap bisa melihat gerakan imam. Cara klasik
yang dilakukan adalah dengan membuat lobang tembus di tengah-tengah
mesjid lantai dua, sehingga makmum yang ada di lantai atas tersebut
masih tetap melihat gerakan imamnya. Cara yang lebih canggih yaitu
dengan media visual slide atau layar projecktor (LCD), bahkan di
kota-kota besar sudah menggunakan media televisi sebagai peranta antara
imam dan makmum. Dengan langkah taktis seperti itu, persyaratan makmum
harus melihat gerakan imam dalam melakukan shalat berjamaah tetap
terpenuhi.
B. PERTANYAAN
Setelah mengkaji deskripsi masalah di atas, kami, santri Ma’had Aly yang
terwadahi dalam Lajnah Bahtsul Masail (LBM) Lembaga Kader Ahli Fiqh,
Ma’had Aly PP. Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo berhasrat
mengajukan dua pertanyaan, yaitu:
a. Apakah penggunaan LCD, TV dan sebagainya dalam menjalankan shalat
berjama'ah sudah dianggap cukup mewakili dalam proses berjamaah?
b. Kalau pelaksanaan shalat berjama'ah dengan menggunakan perantara
media tersebut sudah dianggap cukup, apakah makmum diharuskan untuk
melihat media itu?
C. JAWABAN
Jawaban Point A
Sebagaimana disebutkan dalam deskripsi masalah, bahwa salah persyaratan
shalat berjama'ah ialah ”mengetahui berpindah gerakan imam (intiqalati
al-imam)”. Jika shalat diljalankan tanpa hal tersebut, maka shalat itu
tidak sah. Dalam khazanah fiqh klasik dan kontemporer dikatakan,
mengetahui gerakan imam tidak mesti dengan melihat langsung
(musyahadah), akan tetapi—di saat-saat tertentu dimana melihat secara
langsung menjadi sangat sulit, bahkan tidak mungkin—ada beberapa cara
yang dilegalkan sebagai wasilah mengetahui gerakan imam tersebut, yaitu:
1. melihat shaf (barisan) sebagian makmum yang lain, atau jika tidak mungkin;
2. cukup mendengar suara imam, atau bila masih belum bisa;
3. cukup hanya mendengar suara wakil imam (muballigh) yang menirukan
takbirnya saat melakukan perpindahan gerakan shalat (takbir intiqal).
Sebagaimana dinyatakan Syeikh Zainuddin al-Malibari dalam ”Fath al-Mu’in”-nya pada halaman 36 berikut ini:
(وَ) مِنْهَا: (عِلْمٌ بِانْتِقَالِ إمَامٍ) بِرُؤْيَةٍ لَهُ، أَوْ
لِبَعْضِ صَفٍّ، أَوْ سِمَاعٍ لِصَوْتِهِ، أَوْ صَوْتِ مُبَلِّغٍ ثِقَةٍ.
”termasuk persyaratan shalat berjamaah yaitu mengetahui perpindahan
imamnya, baik dengan melihat langsung, melalui perantara sebagian shaf
(barisan), mendengar suara imamnya, atau mendengar suara seorang
tepercaya yang menirukan takbir imam saat melakukan gerakan dalam
shalat”.
Dalam madzhab Hanafiyah dikatakan, ketika makmum sudah bisa mengetetahui
gerakan imam maka shalat berjamaahnya tetap sah, sekalipun antara imam
dan makmum terhalang dinding pemisah yang cukup besar yang menghalangi
sang makmum untuk menuju imamnya. Berikut ini penuturan salah seorang
ulama' di al-Azhar Kairo dalam kumpulan fatwanya yang terkodifikasi
dalam kitab ”Fatawa al-Azhar” Juz 1 halaman 44:
إِنَّ الصَّحِيحَ مِنْ مَذْهَبِ الحَنَفِيَّةِ عَلَى مَا ذَكَرَهُ
العَلَّامَةُ الشّرنبلَالِى أَنّهُ يَصِحُّ اِقْتِدَاءُ المَأْمُومِ
وََبيَنَْهُ وَبَيْنَ الإَمَامِ حَائِطٌ كَبِيْرٌ لَا ُيمْكِنُ الوَصُولُ
مِنْهُ إِليَْهِ مَتَى كَانَ المَأْمُومُ عَلَى عِلْمٍ بِاْنتِقَالَاتِ
الْإِمَامِ بِسِمَاعٍ أَوْ رُؤْيَةٍ.
"Berdasarkan penuturan al-‘Allamah Syeikh asy-Syaranbilaliy,
sesungguhnya pendapat yang benar dari kalangan madzhab Hanafiyah
mengatakan bahwa shalat berjamaah itu saha seklipun antara imam dan
makmum terdapat penghalang yang sangat besar sehingga makmum tersebut
tidak bisa berjalan menuju imamnya. Namun, dengan catatan si makmum
dapat mengetahui gerakan perpindahan-perpindahan imamnya (intiqalat
al-imam), baik dengan perantara suara atau melihat."
Apa yang dikatakan dalam Hal senada juga diungkapkan oleh al-Mawardi
dari golongan Syafi'iyah. Dalam ke-sah-an shalat berjamaah ini, beliau
juga menekankan pada kewajiban mengetahui perpindahan-perpindahan imam
dari satu rukun pada rukun yang lain. Di bawah ini ulasan al-Mawardi
yang tertuang dalam salah satu karya monomentalnya, "al-Hawi al-Kabir"
Juz 2 pada halaman 778-779:
فَلَوْ صَلَّى الْمَأْمُومُ فِي رِحَابِ الْمَسْجِدِ ، أَوْ مُصْطَفًّا
بِهِ ، أَوْ عَلَى سَطْحِهِ ، وَكَانَ عَالِمًا بِصَلَاةِ إِمَامِهِ
فَصَلَاتُهُ جَائِزَةٌ : لِمَا رُوِيَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ صَلَّى عَلَى
سَطْحِ الْمَسْجِدِ بِصَلَاةِ الْإِمَامِ فِي الْمَسْجِدِ ، وَلِأَنَّ
سَطْحَ الْمَسْجِدِ وَرِحَابَهُ كَالْمَسْجِدِ ، بِدَلِيلِ أَنَّ الْجُنُبَ
مَمْنُوعٌ مِنَ اللُّبْثِ فِي شَيْءٍ مِنْهُ.
"Apabila ma'mum shalat di halaman mesjid, di atap mesjid atau di loteng
mesjid (dalam konteks sekarang bisa dibilang lantai dua mesjid),
sedangkan makmum dapat mengetahui shalatnya imamnya, maka shalat jamaah
yang seperti itu boleh dilakukan, karena alasan ada informasi bahwa
sesungguhnya sahabat Abu Hurairah pernah melakukan shalat di loteng
mesjid bermakmum pada imam yang ada di dalam mesjid, disamping itu juga
karena alasan loteng mesjid dan halaman mesjid hukumnya sama dengan
mesjid, hal ini didasarkan pada ketidakbolehan seorang yang sedang junub
mendiami bagian loteng atau halaman".
Redaksi yang hampir sama juga bisa dibaca dalam kitab "al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah" Juz 2 halaman 1902:
وَيَصِحُّ اقتِدَاءُ الوَاقِفِ عَلَى السَّطْحِ بِمَنْ هُوَ فِي البَيْتِ ، وَلَا يَخْفَى عَلَيْهِ حَاُلهُ.
"Dan sah shalat berjamaah yang dilakukan oleh seorang makmum yang ada di
atas loteng sebuah rumah sementara imamnya ada di dalam, sedangkan
makmum tersebut mesti mengetahui keadaan (berpindahnya) imamnya".
Dari ungkapan terakhir dapat dipahami, bahwa makmum dapat dibilang sah
berjamaah apabila dia mengetahui keadaan imammnya, apakah imamnya sedang
ruku’, I’tidal, sujud, tahiyyat dan sebagainya. Mengenai cara
mengetahui apakah dengan cara langsung atau tidak, itu tidak menjadi
persoalan, yang penting tahu.
Bagaimana jika mengetahui imam dengan mealului pengeras suara
(loadspeaker)? Apakah dapat disamakan dengan suara orang yang menirukan
takbir imam (muballigh)?
Untuk menjawab pertanyaan ini ikutilah penuturan dalam kitab”Fatawa al-Azhar” Juz 9 halaman 149 :
السُّنَّةُ أَنْ يَكُونَ المَأْمُومُونَ مَعَ الإِمَامِ فِى طَابِقٍ
وَاحِدٍ لِسُهُولَةِ مُتَابَعَتِهِ بِالنَّظْرِ أَوِ السِّمَاعِ ، وَإِنْ
كَانَ الصَّوْتُ يَصِلُهُمْ عَنْ طَرِيقِ المُبَلِّغِ أَوْ مُكَبِّرَاتِ
الصَّوْتِ.
"Disunnahkan ma'mum dan imam itu berada disatu lantai untuk memudahkan
proses iqtida' dengan melihat atau mendengar suara imam, sekalipun
mendengarnya hanya melalui pelantara muballigh atau melelui pengeras
suara".
Setelah melihat beberapa pendapat-pendapat ulama' di atas, maka
sebenarnya shalat jama'ah dengan menggunakan layar LCD., Televisi dan
alat-alat elektronik yang lain, tidak ada masalah. Sekarang yang
terpenting adalah bagaimana menyemarakkan kembali shalat berjamaah di
tengah masyarakat yang sedang bercerai berai akibat hiruk-pikuk
perpolitikan. Dengan satu tekad bulat untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan umat. Tidakkah shalat berjamaah merupakan simbol persatuan umat
Islam?
Jawaban Point B
Dari beberapa referensi di atas, tidak ada yang mewajibkan melihat imam
atau gambar imam dalam prosesi shalat berjamaah, yang penting mendengar
suara imam sudah sah shalat makmum yang besangkutan.
D. Daftar Pustaka
1. Fathu al-Mu’in
2. Fatawa al-Azhar
3. al-Hawi al-Kabir
4. al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar