POST
Atieka Khuliatul Khusna
Assalamu'alaikum wr wb.........
"Tabarruk" (Mencari Berkah) Itu Bukan Barang Baru, Jangan Sembarangan Mengklaim Syirik!! ``PENGERTIAN TABARRUK``
Tabarruk berasal dari kata al-Barakah. Arti al-Barakah adalah
tambahan dan perkembangan dalam kebaikan (az-Ziyadah Wa an-Nama’ Fi
al-Khair). Barakah (kebaikan) dalam harta adalah ketika bertambah
banyak dan digunakan dalam ketaatan kepada Allah. Barakah dalam
keluarga adalah ketika anggotanya berjumlah banyak dan berakhlak mulia.
Barakah dalam waktu adalah lamanya masa dan terselesaikan semua urusan
dalam masa yang ada. Barakah dalam kesehatan adalah kesempurnaan dalam
kesehatan itu sendiri. Barakah dalam umur adalah panjang usia dan
banyak beramal baik dalam rentang usia yang panjang tersebut. Barakah
dalam ilmu adalah ketika ilmu itu semakin bertambah banyak dan
diamalkan serta bermanfaat untuk orang banyak. Dengan demikian barakah
itu adalah laksana pundi-pundi kebaikan (Jawami’ al-Khair) dan
berlimpahnya nikmat yang diperoleh dari Allah.
Dari penjelasan ini dipahami bahwa makna Tabarruk adalah: “Thalab
Ziyadah al-Khair Min Allah”. Artinya, meminta tambahan kebaikan dari
Allah.
Di antara sekian banyak hal yang Allah jadikan sebab bagi seseorang
untuk memperoleh barakah dari-Nya adalah bertabarruk dengan para Nabi,
para wali, dan dengan para ulama yang mengamalkan ilmu-ilmunya
(al-‘Ulama al-Amilin), serta dengan orang-orang saleh. Allah berfirman
mengenai ucapan nabi Yusuf:
اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا (يوسف: 93)
“Pergilah kalian dengan membawa gamisku ini, lalu letakkanlah ke wajah
ayahku, maka ia akan dapat melihat kembali”. (QS. Yusuf: 93)
Dalam ayat ini terdapat penjelasan bahwa Nabi Ya'qub bertabarruk dengan
gamis Nabi yusuf. Nabi Ya’qub mencium dan menyentuhkan gamis tersebut
ke matanya, sehingga beliau bisa melihat kembali.
Dalil-Dalil Tabarruk
Para sahabat Rasulullah telah mempraktekkan tabarruk (mencari berkah)
dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah, baik di masa hidup Rasulullah
maupun setelah beliau meninggal. Dari semenjak itu semua ummat Islam
hingga kini masih tetap melakukan tradisi baik yang merupakan ajaran
syari’at ini. Kebolehan perkara ini diketahui dari dalil-dalil yang
sangat banyak, di antaranya sebagai berikut:
1. Perbuatan Rasulullah yang telah membagi-bagikan potongan rambut dan potongan kuku-kukunya.
A. Rasulullah membagi-bagikan rambutnya, ketika beliau bercukur di
saat haji Wada’, haji terakhir yang beliau lakukan. Beliau juga
membagi-bagikan potongan kukunya.
Pembagian rambut ini diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dan al-Imam
Muslim dari hadits sahabat Anas ibn Malik. Dalam lafazh riwayat Imam
Muslim, Anas berkata:
لمَاّ رَمَى صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ الجمرَةَ وَنَحَرَ نُسُكَهُ
وَحَلَقَ نَاوَلَ الحَالِقَ شِقَّهُ الأيْمَنَ فَحَلَقَ، ثمَّ دعَا أبَا
طَلْحَةَ الأنْصَارِيَّ فأعْطاهُ ثمّ نَاوَلَهُ الشِّقَ الأيْسَرَ فقَال
"احْلِق"، فحَلَق، فأعْطَاهُ أبَا طَلحَةَ فقَال: اقْسِمْهُ بَيْنَ
النّاس. وَفِي روَاية: فَبَدَأ بالشِّق الأيْمَنِ فَوَزَّعهُ الشّعْرَةَ
وَالشّعْرَتَين بَيْنَ النّاس ثمّ قاَل: بالأيْسَر، فَصَنَعَ مثلَ ذَلكَ
ثمّ قَال: ههُنَا أبُو طَلحَة، فَدَفَعهُ إلَى أبيْ طَلحَة. وَفي روَاية
أنّه عَليهِ الصّلاَةُ وَالسّلامُ قَالَ للحَلاّق: هَا، وأشَارَ بيَدهِ
إلَى الجَانِب الأيْمَن فَقَسَمَ شَعْرَهُ بَيْنَ مَنْ يَليْهِ، ثمّ
أشَارَ إلَى الحَلاّق إلَى الجَانِبِ الأيْسَر فَحَلقَهُ فَأعْطَاهُ أمَّ
سُلَيم (رَواهُ مُسْلم)
“Setelah selesai melempar Jumrah dan memotong kurbannya, Rasulullah
kemudian bercukur. Beliau mengulurkan bagian kanan rambutnya kepada
tukang cukur untuk memotongnya. Kemudian Rasulullah memanggil Abu
Thalhah al-Anshari dan memberikan kepadanya potongan rambut tersebut.
Lalu Rasulullah mengulurkan bagian kiri rambutnya kepada tukang cukur
tersebut, sambil berkata: “Potonglah..!”. Lalu potongan rambut tersebut
diberikan kembali kepada Abu Thalhah, seraya berkata: “Bagikanlah di
antara manusia”.
Dalam riwayat lain, -disebutkan-: “Maka mulai -dipotong rambut- dari
bagian kanan kepala Rasulullah dan beliau membagikan sehelai, dua helai
rambut di antara manusia. Kemudian dari bagian kiri, juga
dibagi-bagikan. Rasulullah berkata kepada Abu Thalhah: “Abu Thalhah
kemarilah...!”, kemudian Rasulullah memberikan Potongan rambutnya
kepadanya.
Dalam riwayat, -sebagai berikut-: “Rasulullah berkata kepada tukang
cukur: “(Cukurlah) Bagian sini...!”, sambil beliau memberi isyarat ke
bagian kanannya. Kemudian Rasulullah membagikannya kepada orang-orang
yang berada di dekatnya. Lalu memberi isyarat kembali kepada tukang
cukur ke bagian kirinya, setelah dicukur kemudian potongannya diberikan
kepada Umu Sulaim”. (HR. Muslim)
Dalam hadits-hadits ini kita melihat bahwa Rasulullah sendiri yang
membagi-bagikan sebagian rambutnya di antara orang-orang yang ada di
dekatnya, sebagian lainnya diberikan kepada Abu Thalhah untuk dibagikan
kepada semua orang, dan sebagian lainnya beliau berikan kepada Ummu
Sulaim.
B. Rasulullah membagikan potongan kuku-kukunya. Diriwayatkan oleh
al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam Musnad-nya bahwa Rasulullah memotong
kuku-kukunya dan membagi-bagikannya di antara manusia.
Faedah Hadits:
Dalam hadits-hadits di atas terdapat penjelasan dan dalil-dalil kuat
tentang tabarruk dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah. Rasulullah
sendiri yang membagi-bagikan potongan rambutnya di antara para
sahabatnya, agar mereka bertabarruk dengannya. Juga agar mereka
menjadikannya sebagai wasilah dalam berdoa kepada Allah, serta
menjadikan rambut-rambut yang mulia tersebut sebagai jalan untuk
bertaqarrub kepada-Nya. Rasulullah membagi-bagikan rambut-rambutnya agar
menjadi berkah yang terus menerus ada dan sebagai kenangan bagi para
sahabatnya, juga bagi orang-orang yang datang sesudah mereka. Dari
sinilah kemudian orang-orang yang dimuliakan Allah dalam kehidupan
mereka mengikuti apa yang dilakukan para sahabat dalam mencari berkah
dengan peninggalan-peninggalan Rasulullah. Dimana hal ini kemudian
menjadi tradisi yang diwarisi kaum Khalaf dari kaum Salaf. Sudah barang
tentu Rasulullah membagi-bagikan potongan rambut dan potongan kuku-nya
bukan untuk dimakan oleh para sahabat tersebut, melainkan agar mereka
bertabarruk dengan rambut dan potongan kuku tersebut.
2. Para sahabat juga bertabarruk dengan jubah Rasulullah, sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya. Sebagai
berikut:
عَنْ مَوْلَى أسْمَاءَ بِنْتِ أبِي بَكْر، قَالَ: أخْرَجَتْ إليْنَا
جُبّةً طَيَالِسَةً كَسْرَوَانِيّةً لَهَا لَبِنَةُ دِيْبَاجٍ
وَفَرْجَاهَا مَكْفُوْفَانِ، وَقَالَتْ: هذِهِ جُبّةُ رَسُوْلِ اللهِ
صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ كَانَتْ عِنْدَ عَائِشَةَ، فَلَمَّا
قُبِضَتْ قَبَضْتُهَا، وَكَانَ النّبيّ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ
يَلبِسُهَا فَنَحْنُ نَغْسِلُهَا لِلْمَرْضَى نَسْتَشْفِيْ بِهَا، وَفي
روَاية: نَغْسِلُهَا للمَرِيْضِ مِنَّا (رَواه مُسْلم)
“Dari hamba sahaya Asma’ binti Abi Bakar ash-Shiddiq, bahwa ia berkata:
“Asma’ binti Abi Bakar mengeluarkan jubah --dengan motif-- thayalisi
dan kasrawani (semacam jubah kaisar) berkerah sutera yang kedua
lobangnya tertutup. Asma’ berkata: “Ini adalah jubah Rasulullah. Semula
ia berada di tangan ‘Aisyah. Ketika ‘Aisyah wafat maka aku
mengambilnya. Dahulu jubah ini dipakai Rasulullah, oleh karenanya kita
mencucinya agar diambil berkahnya sebagai obat bagi orang-orang yang
sakit”. Dalam riwayat lain: “Kita mencuci (mencelupkan)-nya di air dan
air tersebut menjadi obat bagi orang yang sakit di antara kita”.
3. Para sahabat Rasulullah dan kaum Tabi'in melakukan tabarruk dengan
bekas tempat telapak tangan Rasulullah. Dalam sebuah hadits
diriwayatkan sebagai berikut:
عَنْ حَنْظَلَةَ بْنِ حَذْيَمٍ قَالَ: وَفَدْتُ مَعَ جَدّيْ حَذْيَمٍ إلَى
رَسُولِ اللهِ صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ، فَقَال: يَا رَسُولَ اللهِ
إنّ لِيْ بَنِيْنَ ذَوِيْ لِحًى وَغَيْرَهُمْ وَهَذَا أصْغَرُهُمْ،
فَأدْنَانِي رَسُولُ الله صَلّى اللهُ عَليهِ وَسَلّمَ وَمَسَحَ رَأسِي،
وَقَال: بَارَك اللهُ فِيْكَ، قَالَ الذّيالُ: فَلَقَدْ رَأيْتُ
حَنْظَلَةَ يُؤْتَى بالرّجُلِ الوَارِمِ وَجْهُهُ أوِ الشّاةِ الوَارِمِ
ضَرْعُهَا، فَيَقُوْلُ: بسْمِ اللهِ عَلَى مَوْضِعِ كَفّ رَسُوْلِ اللهِ
صَلّى اللهُ عَليْهِ وَسَلّمَ فَيَمْسَحُهُ فُيَذْهَبُ الوَرمُ (روَاه
الطّبَرانيّ في الأوْسَط وَالكَبيْر بنَحْوِه، وأحمَدُ فِي حَديثٍ
طَوِيْلٍ وَرِجَالُ أحْمَدَ ثِقَاتٌ)
“Dari sahabat Hanzhalah ibn Hadzyam, bahwa ia berkata: “Aku mengikuti
rombongan bersama kakekku; Hadzyam menuju Rasulullah. Kakekku berkata
kepada Rasulullah: “Wahai Rasulallah, aku memiliki beberapa anak
laki-laki yang sudah besar dan ini yang paling kecil di antara mereka".
Kemudian Rasulullah mendekatkan diriku ke dekatnya, lalu ia mengusap
kepalaku seraya berkata: “Barakallah Fik” (Semoga Allah memberikan
berkah kepadamu).
Adz-Dzayyal berkata: “Aku melihat Hanzhalah didatangi orang yang
bengkak wajahnya atau orang yang membawa kambing yang bengkak susunya,
kemudian Hanzhalah mengucapkan:
بِسْمِ اللهِ عَلَى مَوْضِعِ كَفِّ رَسُوْلِ اللهِ
“Dengan nama Allah atas tempat usapan telapak tangan Rasulullah”,
kemudian ia mengusap orang tersebut hingga hilanglah bengkaknya.
(Diriwayatkan al-Imam ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath dan
al-Mu’jam al-Kabir, juga diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dalam hadits
yang panjang yang semua para perawinya tsiqat (terpercaya).
4. Para Tabi’in melakukan tabarruk dengan kemuliaan mata sahabat
Rasulullah yang pernah melihat Rasulullah, dan bertabarruk dengan
tangan yang telah menyentuh Rasulullah di masa hidupnya. Perlakuan kaum
Tabi’in ini sedikitpun tidak diingkari oleh para sahabat Nabi,
sebaliknya mereka menyetujui perlakuan tersebut. Dalam sebuah hadits
diriwayatkan sebagai berikut:
عَنْ ثَابِتٍ قَالَ: كُنْتُ إذَا أَتَيْتُ أنَسًا يُخْبرُ بِمَكَانِي
فَأدْخُلُ عَلَيْهِ فَآخُذُ بيَدَيْهِ فَأُقَبِّلُهُمَا وَأقُوْلُ: بَأبِي
هَاتَانِ اليَداَنِ اللَّتاَنِ مَسّتَا رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلّمَ، وَأُقَبّلُ عَيْنَيْهِ وَأقُوْلُ: بِأبِي هَاتَانِ
العَيْنَانِ اللّتَانِ رَأتَا رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ
(رَوَاهُ أبُو يَعْلَى وَرِجَالهُ رجَالُ الصّحِيْحِ غَيْرُ عَبْدِ اللهِ
بنِ أبِي بَكْر المَقْدميّ وَهُوَ ثِقَةٌ)
“Dari Tsabit al-Bunani -Salah seorang dari Tabi'in ternama, murid Anas
ibn Malik- berkata: “Apabila aku mendatangi Anas ibn Malik, ia (Anas)
--selalu-- diberitahu tentang kedatanganku, maka aku menemuinya dan
meraih kedua tangannya untuk aku cium. Aku berkata: “Sungguh, kedua
tangan inilah yang telah menyentuh jasad Rasulullah”, kemudian juga aku
cium kedua matanya, aku berkata: “Sungguh, kedua mata inilah yang telah
melihat Rasulullah”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan para
perawinya adalah para perawi Shahih selain ‘Abdullah ibn Abu Bakar
al-Maqdimi dan dia adalah perawi yang terpercaya (Tsiqah).
5. Para Sahabat melakukan tabarruk dengan tanah kuburan Rasulullah.
al-Imam Ahmad ibn Hanbal dalam kitab Musnad, al-Imam ath-Thabarani
dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir dan kitab al-Mu’jam al-Awsath, dan
al-Imam al-Hakim dalam kitab Mustadrak-nya meriwayatkan bahwa pada
suatu ketika Marwan ibn al-Hakam, -salah seorang Khalifah Bani Umayyah
di masanya-, datang melewati makam Rasulullah. Dia mendapati seseorang
meletakkan wajahnya di atas makam tersebut karena menumpahkan kerinduan
dan ingin memperoleh berkah dari Rasulullah. Marwan menghardik orang
tersebut: “Sadarkah engkau dengan apa yang sedang engkau perbuat?!”.
Orang dimaksud menoleh, dan ternyata dia adalah sahabat Abu Ayyub
al-Anshari, salah seorang sahabat Rasulullah terkemuka. Kemudian
sahabat Abu Ayyub berkata: “Iya (aku sadar), aku mendatangi Rasulullah
dan aku tidak mendatangi sebongkah batu. Aku mendengar Rasulullah
bersabda:
لاَ تَبْكُوْا عَلَى الدِّيْنِ إِذَا وَلِيَهُ أَهْلُهُ، وَلكِنْ ابْكُوْا عَلَيْهِ إِذَا وَلِيَهُ غَيْرُ أَهْلِهِ
“Jangan tangisi agama ini jika dikendalikan oleh ahlinya, tetapi
tangisilah agama ini apabila ia dikendalikan oleh orang yang bukan
ahlinya”. (Maksud sahabat Abu Ayyub: “Engkau, wahai Marwan tidak layak
menjadi seorang Khalifah”).
Dalam kitab Wafa’ al-Wafa, as-Samhudi meriwayatkan dengan sanad yang
jayyid (kuat) bahwa sahabat Bilal bin Rabah ketika pindah ke Syam dan
tinggal di sana, kemudian beliau berziarah ke makam Rasulullah di
Madinah. Setelah sampai di makam Rasulullah, ia meneteskan air mata dan
membolak-balikkan wajahnya di atas tanah makam Rasulullah”.
As-Samhudi juga menukil dari Kitab Tuhfah Ibn ‘Asakir bahwa ketika
Rasulullah telah dimakamkan, as-Sayyidah Fatimah datang kemudian
berdiri di samping makam lalu mengambil segenggam tanah dari makam
Rasulullah tersebut dan ia letakkan tanah itu ke matanya kemudian ia
menangis...”.
6. al-Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak, dan al-Hafizh al-Baihaqi dalam
kitab Dala-il an-Nubuwwah, dan lainnya meriwayatkan dengan sanad-nya
dari sahabat Khalid ibn al-Walid, bahwa di perang Yarmuk beliau
kehilangan pecinya. Khalid berkata -kepada prajuritnya-: “Carilah peci
saya!”. Mereka mencari-cari namun mereka tidak menemukannya. Setelah
dicari-cari kembali akhirnya mereka menemukannya dan ternyata peci
tersebut adalah peci yang sudah sangat lusuh. Khalid berkata:
اعْتَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ فَحَلَقَ رَأسَهُ
فَابْتَدَرَ النّاسُ جَوَانِبَ شَعْرِهِ فَسَبَقْتُهُمْ إلَى نَاصِيَتهِ
فَجَعَلْتُهَا فِي هذِهِ القَلَنْسُوَةِ فَلَمْ أشْهَدْ قِتَالاً وَهِيَ
مَعِيْ إلاّ رُزِقْتُ النَّصْرَ
“Ketika Rasulullah melakukan umrah (Ji’ranah) dan memotong rambutnya,
banyak orang memburu bagian pinggir rambutnya. Namun aku berhasil
mendahului mereka meraih rambut dari ubun-ubunnya dan aku letakan di
peci ini, hingga tidak ada satu peperanganpun yang aku ikuti dan rambut
itu bersama-ku kecuali aku diberi kemenangan”.
Kisah ini diriwayatkan dengan sanad yang shahih. Al-Muhaddits Habib
ar-Rahman al-A’zhami dalam Ta’liq-nya terhadap al-Mathalib al-‘Aliyah
karya al-Hafizh Ibn Hajar menuliskan: “al-Hafizh al-Bushiri mengatakan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dengan sanad yang shahih.
Al-Hafizh al-Haytsami mengatakan: Ath-Thabarani dan Abu Ya’la
meriwayatkan riwayat serupa, dan para perawi keduanya adalah para
perawi yang shahih” .
7. Para sahabat melakukan tabarruk dengan air wudlu Rasulullah. al-Imam
al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahih-nya dari ‘Aun ibn Abi
Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: “Aku mendatangi Rasulullah dan
aku melihat Bilal mengambilkan air wudlu-nya, dan aku melihat
orang-orang merebutkan -bekas- air wudlu Rasulullah tersebut. Orang yang
dapat mengambilnya lalu ia mengusapkannya ke tubuhnya, dan orang yang
tidak memperoleh bagian, maka ia mengambil dari tangan temannya yang
masih basah”.
8. Para sahabat bertabarruk dengan bagian mimbar Rasulullah. Ibn Abi
Syaibah dalam kitab Mushannaf-nya meriwayatkan dari Abu Maududah
berkata: “Telah mengkhabarkan kepadaku Yazid ibn Abd al-Malik bin
Qasith, bahwa ia berkata: “Aku menyaksikan banyak dari para sahabat
Rasulullah jika masjid telah sepi mereka berdiri menuju bagian mimbar
yang biasa dipegang oleh tangan Nabi lalu mereka mengusapnya dan
berdoa”. Abu Mawdudah berkata: “Saya juga melihat Yazid melakukan hal
itu”.
9. Dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hanbal, -putera
al-Imam Ahmad ibn Hanbal-, bahwa ia (‘Abdullah) berkata: “Aku bertanya
kepada ayahku (Ahmad ibn Hanbal), tentang seseorang yang menyentuh dan
mengusap bagian mimbar yang biasa dipegang oleh tangan Rasulullah untuk
bermaksud bertabarruk dengannya, demikian juga aku tanyakan tentang
orang yang mengusap kuburan Rasulullah -untuk tujuan itu-”. Ayahku
menjawab: “Tidak apa-apa (boleh)”.
Dalam Kitab al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal disebutkan: “Aku
(‘Abdullah) bertanya kepada ayahku (Ahmad ibn Hanbal) tentang orang
yang menyentuh mimbar Rasulullah dan bertabarruk dengan menyentuh dan
menciumnya, dan melakukan hal itu terhadap kuburan Rasulullah atau
semacamnya, ia dengan itu bermaksud untuk taqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah. Ia (Ahmad ibn Hanbal) menjawab: “Tidak apa-apa (boleh)” .
Dengan demikian, apa yang hendak dikatakan oleh kalangan anti tabarruk
dari orang-orang Wahhabiyyah tentang Imam Ahmad ibn Hanbal yang mereka
banggakan sebagai panutan mereka?! Apakah mereka akan mengatakan Ahmad
ibn Hanbal mengajarkan perbuatan syirik, karena beliau membolehkan dan
bahkan mencontohkan tabarruk?! Hendak “kabur” ke mana mereka dari
bukti-bukti ini?!
Kerancuan Kalangan Anti Tabarruk
Kalangan yang anti tabarruk, tawassul, dan semacamnya seringkali ketika
mereka terbentur dengan hadits-hadits atau amaliah para ulama salaf
dan khalaf yang bertentangan dengan pendapat mereka, mereka mengatakan:
A. Hadits-hadits tentang tabarruk dan tawassul ini khusus berlaku kepada Rasulullah!.
B. Mereka, para ulama tersebut melakukan perbuatan yang tidak ada
dalilnya, dengan demikian harus ditolak, siapa-pun orang tersebut!.
Jawab:
A. Kita katakan kepada mereka: Adakah dalil yang mengkhususkan
tabarruk, tawassul dan istighotsah hanya kepada Rasulullah saja?! Mana
dalil kekhususan (Khushushiyyah) tersebut?! Apakah setiap ada hadits
yang bertentangan dengan pendapat kalian, kemudian kalian katakan bahwa
khusus berlaku kepada Rasulullah saja?! Mari kita lihat berikut ini
pemahaman para ulama kita tentang hadits-hadits tabarruk dan semacamnya,
bahwa mereka memahaminya tidak hanya khusus kepada Rasulullah saja.
Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan sebagai berikut:
بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ
أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى
صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ
أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ
فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ
فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ.
“Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang
saleh dari kalangan para ulama, jika mereka memang orang-orang mengikuti
sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa
ia berkata: Aku melihat Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan aku melihat
Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, kemudian aku melihat banyak
orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka semua mengusap-usap
dengannya” .
Dalam teks di atas sangat jelas bahwa Ibn Hibban memahami tabarruk
sebagai hal yang tidak khusus kepada Rasulullah saja, tetapi juga
berlaku kepada al-Ulama al-‘Amilin. Karena itu beliau mencantumkan
hadits tentang tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah
sebuah bab yang beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk
dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, jika
mereka memang orang-orang mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah”.
Syekh Mar’i al-Hanbali dalam Ghayah al-Muntaha menuliskan:
وَلاَ بَأْسَ بِلَمْسِ قَبْرٍ بِيَدٍ لاَ سِيَّمَا مَنْ تُرْجَى بَرَكَتُهُ
“Dan tidak mengapa menyentuh kuburan dengan tangan, apalagi kuburan orang yang diharapkan berkahnya” .
Bahkan dalam kitab al-Hikayat al-Mantsurah karya al-Hafizh adl-Dliya’
al-Maqdisi al-Hanbali, disebutkan bahwa beliau (adl-Dliya’ al-Maqdisi)
mendengar al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali mengatakan bahwa
suatu ketika di lengannya muncul penyakit seperti bisul, dia sudah
berobat ke mana-mana dan tidak mendapatkan kesembuhan. Akhirnya ia
mendatangi kuburan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Kemudian ia mengusapkan
lengannya ke makam tersebut, lalu penyakit itu sembuh dan tidak pernah
kambuh kembali.
As-Samhudi dalam Wafa’ al-Wafa mengutip dari al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa beliau berkata:
اِسْتَنْبَطَ بَعْضُهُمْ مِنْ مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ
الأَسْوَدِ جَوَازَ تَقْبِيْلِ كُلِّ مَنْ يَسْتَحِقُّ التَّعْظِيْمَ مِنْ
ءَادَمِيٍّ وَغَيْرِهِ، فَأَمَّا تَقْبِيْلُ يَدِ الآدَمِيِّ فَسَبَقَ
فِيْ الأَدَبِ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ
عَنْ تَقْبِيْلِ مِنْبَرِ النَّبِيِّ وَقَبْرِهِ فَلَمْ يَرَ بِهِ
بَأْسًا، وَاسْتَبْعَدَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ صِحَّتَهُ عَنْهُ وَنُقِلَ
عَنْ ابْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ اليَمَانِيِّ أَحَدِ عُلَمَاءِ مَكَّةَ مِنَ
الشَّافِعِيَّةِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ الْمُصْحَفِ وَأَجْزَاءِ الْحَدِيْثِ
وَقُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ، وَنَقَلَ الطَّيِّبُِ النَّاشِرِيُّ عَنْ
الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْقَبْرِ وَمسُّهُ
قَالَ: وَعَلَيْهِ عَمَلُ العُلَمَاءِ الصَّالِحِيْنَ.
“-Al-Hafizh Ibn Hajar mengatakan- bahwa sebagian ulama mengambil dalil
dari disyari'atkannya mencium hajar aswad, kebolehan mencium setiap yang
berhak untuk diagungkan; baik manusia atau lainnya, -dalil- tentang
mencium tangan manusia telah dibahas dalam bab Adab, sedangkan tentang
mencium selain manusia, telah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau
ditanya tentang mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah, lalu
beliau membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan
kebenaran nukilan dari Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif
al-Yamani, -salah seorang ulama madzhab Syafi'i di Makkah-, tentang
kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits dan makam orang saleh.
Kemudian pula Ath-Thayyib an-Nasyiri menukil dari al-Muhibb ath-Thabari
bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia berkata: Ini
adalah amaliah para ulama saleh” .
Tentang keraguan dari sebagian orang yang mengaku sebagai pengikut
Ahmad ibn Hanbal yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di atas jelas
tidak beralasan sama sekali. Karena pernyataan Ahmad ibn Hanbal
tersebut telah kita kutipkan langsung dari buku-buku putera beliau
sendiri, yatiu ‘Abdullah ibn Ahmad dalam kitab Su-alat ‘Abdullah ibn
Ahmad ibn Hanbal dan al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal seperti telah kita
sebutkan di atas.
Al-Badr al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari mengutip dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa ia berkata sebagai berikut:
وَيُمْكِنُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ وَاسْتِلاَمِ
الأَرْكَانِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ مَا فِيْ تَقْبِيْلِهِ تَعْظِيْمُ اللهِ
تَعَالَى فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ خَبَرٌ بِالنَّدْبِ لَمْ
يَرِدْ بِالكَرَاهَةِ، قَالَ: وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ بَعْضِ تَعَالِيْقِ
جَدِّيْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ عَنْ الإِمَامِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ
مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ أَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ إِذَا رَأَى
الْمَصَاحِفَ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى أَجْزَاءَ الْحَدِيْثِ قَبَّلَهَا
وَإِذَا رَأَى قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ قَبَّلَهَا، قَالَ: وَلاَ يَبْعُدُ
هذَا وَاللهُ أَعْلَمُ فِيْ كُلِّ مَا فِيْهِ تَعْظِيْمٌ للهِ تَعَالَى.
“Dapat diambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad dan
melambaikan tangan terhadap sudut-sudut Ka’bah tentang kebolehan mencium
setiap sesuatu yang jika dicium maka itu mengandung pengagungan kepada
Allah. Karena meskipun tidak ada dalil yang menjadikannya sebagai
sesuatu yang sunnah, tetapi juga tidak ada yang memakruhkan. Al-Muhibb
ath-Thabari melanjutkan: Aku juga telah melihat dalam sebagian catatan
kakek-ku; Muhammad ibn Abi Bakar dari al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn
Abu ash-Shaif, bahwa sebagian ulama dan orang-orang saleh ketika
melihat mushaf mereka menciumnya. Lalu ketika melihat buku-buku hadits
mereka menciumnya, dan ketika melihat kuburan orang-orang saleh mereka
juga menciumnya. ath-Thabari mengatakan: Ini bukan sesuatu yang aneh dan
bukan sesuatu yang jauh dari dalilnya, bahwa termasuk di dalamnya
segala sesuatu yang mengandung unsur Ta'zhim (pengagungan) kepada Allah.
Wa Allahu A’lam” .
Dari teks-teks ini kita dapat melihat dengan jelas bahwa para ahli
hadits, seperti al-Imam Ibn Hibban, al-Muhibb ath-Thabari, al-Hafizh
adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi
al-Hanbali, dan para ulama penulis Syarh Shahih al-Bukhari, seperti
al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dengan Fath al-Bari’, al-Badr al-'Aini
dengan ‘Umdah al-Qari’, juga para ahli Fikih madzhab Hanbali seperti
Syekh Mar’i al-Hanbali dan lainnya, semuanya memiliki pemahaman bahwa
kebolehan tabarruk tidak khusus berlaku kepada Rasulullah saja.
Dari sini, kita katakan kapada orang-orang anti tabarruk: Apa sikap
kalian terhadap teks-teks para ulama ini?! Apakah kalian akan akan
mengatakan bahwa para ulama tersebut berada di dalam kesesatan, dan
hanya kalian yang benar dengan ajaran baru kalian?!
B. Jika dalil-dalil yang telah kita sebutkan itu bukan dalil, lalu
apa yang mereka maksud dengan dalil? Apakah yang disebut dalil hanya
jika disebutkan oleh panutan-panutan mereka saja?! Siapakah yang lebih
tahu dalil dan memahami agama ini, apakah mereka yang anti tabarruk
ataukah al-Imam Ahmad ibn Hanbal dan para ulama ahli hadits dan ahli
fikih?! Benar, orang yang tidak memiliki alasan kuat akan mengatakan
apapun, termasuk sesuatu yang tidak rasional, bahkan terkadang oleh dia
sendiri tidak dipahami.......
Semoga Allah memuliakan kita untuk dapat berjumpa dengan Rasulullah di
dunia ini; walau lewat mimpi, dan semoga kelak di akhirat nanti kita
dikumpulkan dalam barisan beliau bersama para sahabatnya. Amin..ya
robbal'alamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar