PERTANYAAN
Asep Iqbal Syifa'ul Qolby
sakali-kali mah pribados rek nanya. teu nanaonnya?
kie yeuh pertanyaana teh.(indo) kalaw ada wanita yg
dijinahan duluan trus hamil (MIO), apakah itu langsung ditikah apa
harus nunggu dulu anaknya keluar? Sok manga dirundingken
JAWABAN
El-mahendra berdo'a
Secara spesifik sebenarnya ada lima pendapat berbeda tentang hukum menikahi wanita pezina:
1. Mutlak tidak sah.
Didukung oleh Ali, Aisyah, dan Bara’ ibn ‘Azib. Serta masing-masing
satu riwayat Abu Bakar, Umar, Ibnu Mas’ud, dan Hasan Bashri (al-Hawi
al-Kabir 9/492-493, al-Mughni Ibnu Qudamah 7/518, Tafsir al-Alusi
13/326).
Pandangan ini didasarkan pada QS. An-Nur: 3, yakni
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang
berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak
dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik,
dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”
2. Mutlak sah.
Didukung oleh asy-Syafi’ie dan madzhabnya (al-Hawi al-Kabir 9/497-498).
Kalangan Syafi’iyah berargumen pada ayat 24 QS. An-Nisa:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian.”
Ayat an-Nisa itu turun setelah menjelaskan wanita-wanita yang haram
dinikahi. Dengan demikian selain wanita yang telah disebutkan halal
untuk dinikahi, termasuk wanita yang berzina.
Dikuatkan dengan sabda Nabi SAW:
“Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan/menjadikan mahram pada (orang) yang halal” (HR. ibnu Majah dan Baihaqi).
Abu Bakar berkata: Bila seseorang menzinai wanita lain maka tidak haram bagi orang itu untuk menikahinya.
Sedangkan mengenai Surat an-Nur ayat 3, al-Mawardi (al-Hawi al-Kabir 9/494) menyebut ada tiga takwilan terhadap ayat ini:
- Ayat itu turun khusus pada kisah Ummu Mahzul, yakni ketika ada
seorang laki-laki meminta izin Rasulullah akan wanita pelacur bernama
Ummu Mahzul.
- Ibnu Abbas mengartikan kata ‘yankihu’ dengan ‘bersetubuh’,
sehingga maksud ayat tersebut: “Laki-laki yang berzina tidak bersetubuh
melainkan (dengan) perempuan yang berzina…dst.”
- Menurut Sa’id ibn Musayyab telah dinasakh oleh QS. An-Nisa ayat 3:
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.”
3. Sah dengan syarat
selama menikah tidak berhubungan badan dengan istri sampai dia
melahirkan. Didukung oleh Abu Hanifah dalam satu riwayat (asy-Syarh
al-Kabir 7/502-503, al-Hawi al-Kabir 9/497-498).
Abu Hanifah berargumen meskipun sah dinikahi, tapi tidak boleh disetubuhi sebelum melahirkan. Termaktub dalam hadits:
لَا تَسْقِ بِمَائِكَ زَرْعَ غَيْرِكَ
“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk menyiramkan air (mani)nya ke tanaman [35] orang lain” (HR. Abu
Dawud dan Ahmad).
4. Sah dengan syarat
menikahnya dilakukan setelah wanita melahirkan (istibra’). Didukung
oleh Rabi’ah, Sufyan Tsauri, Malik, Auza’ie, Ibnu Syubrumah, Abu Yusuf,
dan Abu Hanifah dalam riwayat yang lain (al-Hawi al-Kabir 9/497-498,
asy-Syarh al-Kabir 7/502-503).
Mereka berpendapat wanita hamil zina memiliki iddah sehingga haram
dinikahi sebelum selesai iddahnya. Dalil mereka adalah QS. Ath-Thalaq
ayat 4:
“Dan perempuan-perempuan yang hamil itu ‘iddah mereka sampai mereka melahirkan.”
Disebutkan juga dalam hadits:
أَلَا لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرَ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ
“Ingatlah, tidak disetubuhi wanita hamil hingga ia melahirkan dan
tidak juga pada wanita yang tidak hamil sampai satu kali haidh” (HR.
Abu Dawud, Ahmad dan Ad-Darimi).
5. Sah dengan syarat menikahnya dilakukan setelah wanita istibra’
plus telah bertaubat. Didukung oleh Abu Ubaidah, Qatadah, Ahmad ibn
Hanbal, dan Ishaq (al-Hawi al-Kabir 9/492-493, Tafsir Ibnu Katsir
6/9-10).
Ibnu Qudamah (Syarhu Kabir 7/504) menjelaskan bahwa sesuai bunyi
terakhir ayat 3 surat An-Nur, ‘wa hurrima dzalika ‘alal mukminin’,
keharaman menikahi pezina diperuntukkan bagi orang mukmin (yang
sempurna). Sehingga ketika telah bertaubat dari zina leburlah dosa,
kembali menjadi bagian dari orang-orang mukmin, dan hukum haram baru
bisa terhapus. Sebagaimana hadits
“Seorang yang telah bertaubat dari dosa itu layaknya tidak ada dosa padanya” (HR. Hakim, Ibnu Majah, Thabrani, dan Baihaqi).
Ibnu Umar pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berzina
dengan seorang perempuan, apakah boleh dia menikahinya ? Jawab Ibnu
Umar, “Jika keduanya telah bertaubat dan keduanya berbuat kebaikan
(yakni beramal shalih)” (Al-Muhalla 9/ 475).
Dalam hal ini tidak ada perbedaan apakah wanita tersebut dinikahi
oleh laki-laki yang menzinai ataupun orang lain. Dari sudut pandang
Syafi’iyah karena hamil hasil zina tidak ada kehormatan apapun yang
perlu dijaga seperti percampuran nasab. Dari perspektif ulama lainnya
karena telah disyaratkan tidak adanya hubungan badan.
Juga dalam Mughni Ibnu Qudamah:
فصل : وإذا وجد الشرطان حل نكاحها للزاني وغيره
[ المغني - ابن قدامة ] ج7 ص518
Jadi jika melihat kembali pada kasus awal, apakah nikahnya harus
diulang? Maka jawabannya jelas tidak. Sebab menurut Syafi’iyah dan satu
riwayat Abu Hanifah nikahnya telah sah sejak awal. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar