Allah Ada Tanpa Tempat oleh Padepokan Santri Kyai Jamas pada 14 Juni 2012 pukul 8:13 ·
بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله وصلى الله على رسول الله وسلم وبعد
قال الله تعالى : (هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَـمِيًّا) (سورة مريم : 65)
Engkau tidaklah menemukan yang serupa dengan-Nya (Allah)”. (QS. Maryam: 65)
Sesungguhnya keyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat adalah aqidah
Nabi Muhammad, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka.
Mereka dikenal dengan Ahlussunnah Wal Jama'ah; kelompok mayoritas ummat
yang merupakan al-Firqah an-Najiyah (golongan yang selamat).
Dalil atas keyakinan tersebut selain ayat di atas adalah firman Allah:
( لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ ) (سورة الشورى: 11)
Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11)
Ayat ini adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur'an yang
menjelaskan bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ulama
Ahlussunnah menyatakan bahwa alam (makhluk Allah) terbagi kepada dua
bagian;yaitu ..
benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi menjadi dua,yaitu benda
yang tidak dapat terbagi lagi karena telah mencapai batas terkecil
(para ulama menyebutnya dengan al-Jawhar al-Fard), dan benda yang dapat
terbagi menjadi bagian-bagian (jism).
Jism (Benda) yang terakhir ini terbagi menjadi dua macam;
1. Benda Lathif; benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, angin dan sebagainya.
2. Benda Katsif; benda yang dapat dipegang oleh tangan seperti manusia, tanah, benda-benda padat dan lain sebagainya.
Sedangkan sifat-sifat benda adalah seperti bergerak, diam, berubah,
bersemayam, berada di tempat dan arah, duduk, turun, naik dan
sebagainya.
Ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa Allah ta'ala tidak
menyerupai makhluk-Nya, bukan merupakan al-Jawhar al-Fard, juga bukan
benda Lathif atau benda Katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan
apapun dari sifat-sifat benda. Ayat tersebut cukup untuk dijadikan
sebagai dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Karena seandainya
Allah mempunyai tempat dan arah, maka akan banyak yang serupa
dengan-Nya. Karena dengan demikian berarti ia memiliki dimensi (panjang,
lebar dan kedalaman). Sedangkan sesuatu yang demikian, maka ia adalah
makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi
tersebut.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ: "كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَىءٌ
غَيْـرُهُ" (رواه البخاري والبيهقي وابن الجارود)
Rasulullah Shallallahu 'Alayhi Wa Sallam bersabda: “Allah ada pada
azal (Ada tanpa permulaan) dan belum ada sesuatupun selain-Nya”. (H.R.
al-Bukhari, al-Bayhaqi dan Ibn al-Jarud)
Makna hadits ini bahwa Allah ada pada azal (keberadaan tanpa
permulaan), tidak ada sesuatu (selain-Nya) bersama-Nya. Pada azal belum
ada angin, cahaya, kegelapan, 'arsy, langit, manusia, jin, malaikat,
waktu, tempat dan arah. Maka berarti Allah ada sebelum terciptanya
tempat dan arah, maka Ia tidak membutuhkan kepada keduanya dan Ia tidak
berubah dari semula, yakni tetap ada tanpa tempat dan arah, karena
berubah adalah ciri dari sesuatu yang baru (makhluk).
Maka sebagaimana dapat diterima oleh akal, adanya Allah tanpa tempat
dan arah sebelum terciptanya tempat dan arah, begitu pula akal akan
menerima wujud-Nya tanpa tempat dan arah setelah terciptanya tempat dan
arah. Hal ini bukanlah penafian atas adanya Allah. Sebagaimana
ditegaskan juga oleh sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib -semoga Allah
meridlainya-:
"كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ"
"Allah ada (pada azal) dan belum ada tempat dan Dia (Allah) sekarang
(setelah menciptakan tempat) tetap seperti semula, ada tanpa tempat"
(Dituturkan oleh al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi dalam kitabnya al-Farq
Bayn al-Firaq, h. 333).
Al-Imam al-Bayhaqi (w 458 H) dalam kitabnya al-Asma Wa ash-Shifat, hlm. 506, berkata:
"Sebagian sahabat kami dalam menafikan tempat bagi Allah mengambil
dalil dari sabda Rasulullah shalllallahu 'alayhi wa sallam:
قالَ
رَسُوْلُ الله: "أنْتَ الظّاهِرُ فَلَيْسَ فَوْقَكَ شَىءٌ وَأنْتَ
الْبَاطِنُ فَلَيْسَ دُوْنَكَ شَىءٌ" (رَوَاهُ مُسلم وَغيـرُه)
"Engkau Ya Allah azh-Zhahir (yang segala sesuatu menunjukkan akan
ada-Nya), tidak ada sesuatu apapun di atas-Mu, dan Engkau al-Bathin
(yang tidak dapat dibayangkan) tidak ada sesuatu apapun di bawah-Mu (HR.
Muslim dan lainnya). Jika tidak ada sesuatu apapun di atas-Nya dan
tidak ada sesuatu apapun di bawah-Nya maka berarti Dia ada tanpa
tempat".
Al-Imam as-Sajjad Zain al-‘Abidin ‘Ali ibn al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi
Thalib (w 94 H) berkata:
"أنْتَ اللهُ الّذِيْ لاَ يَحْوِيْكَ مَكَانٌ"
(رواه الحافظ الزبيدي)
"Engkaulah ya Allah yang tidak diliputi oleh tempat". (Diriwayatkan
oleh al-Hafizh az-Zabidi dalam Ithaf as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’
‘Ulumiddin dengan rangkaian sanad muttashil mutasalsil yang kesemua
perawinya adalah Ahl al-Bayt; keturunan Rasulullah).
Adapun ketika seseorang menghadapkan kedua telapak tangan ke arah
langit ketika berdoa, hal ini tidak menandakan bahwa Allah berada di
arah langit. Akan tetapi karena langit adalah kiblat berdoa dan
merupakan tempat turunnya rahmat dan barakah. Sebagaimana apabila
seseorang ketika melakukan shalat ia menghadap ka'bah, hal ini tidak
berarti bahwa Allah berada di dalamnya, akan tetapi karena ka'bah adalah
kiblat shalat. Penjelasan seperti ini telah dituturkan oleh para ulama
Ahlussunnah Wal Jama'ah seperti al-Imam al-Mutawalli (w 478 H) dalam
kitabnya al-Ghun-yah, al-Imam al-Ghazali (w 505 H) dalam kitabnya Ihya
‘Ulumiddin, al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitabnya Syarh Shahih
Muslim, al-Imam Taqiyyuddin as-Subki (w 756 H) dalam kitab as-Sayf
ash-Shaqil, dan masih banyak lagi.
Al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi -Semoga Allah meridlainya- (w 321 H)
berkata:
"تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَاْلغَايَاتِ
وَاْلأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ
السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ"
"Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi
Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi,
anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun
anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung,
telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah
penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang); tidak seperti
makhluk-Nya yang diliputi oleh enam arah penjuru tersebut".
Perkataan al-Imam Abu Ja'far ath-Thahawi ini merupakan Ijma’
(konsensus) para sahabat dan ulama Salaf (orang-orang yang hidup pada
tiga abad pertama hijriyah). Diambil dalil dari perkataan tersebut
bahwasannya bukanlah maksud dari Mi'raj bahwa Allah berada di arah atas
lalu Nabi Muhammad naik ke arah sana untuk bertemu dengan-Nya. Melainkan
maksud Mi'raj adalah untuk memuliakan Rasulullah dan memperlihatkan
kepadanya keajaiban-keajaiban makhluk Allah sebagaimana dijelaskan dalam
al Qur'an surat al-Isra ayat 1.
Dengan demikian tidak boleh dikatakan bahwa Allah ada di satu tempat,
atau disemua tempat, atau ada di mana-mana. Juga tidak boleh dikatakan
bahwa Allah ada di satu arah atau semua arah penjuru.
Al-Imam Abu
al-Hasan al-Asy'ari (w 324 H) -Semoga Allah meridlainya- berkata:
"إنَّ
اللهَ لاَ مَكَانَ لَهُ " (رواه البيهقي في الأسماء والصفات)
"Sesungguhnya Allah ada tanpa tempat" (Diriwayatkan oleh al-Bayhaqi
dalam kitab al-Asma Wa ash-Shifat). Al-Imam al-Asy’ari juga berkata:
"Tidak boleh dikatakan bahwa Allah di satu tempat atau di semua
tempat". Perkataan al-Imam al-Asy'ari ini dinukil oleh al-Imam Ibn Furak
(w 406 H) dalam kitab al-Mujarrad. Syekh Abd al-Wahhab asy-Sya'rani (w
973 H) dalam kitab al-Yawaqit Wa al-Jawahir menukil perkataan Syekh Ali
al-Khawwash: "Tidak boleh dikatakan Allah ada di mana-mana". Maka aqidah
yang wajib diyakini adalah bahwa Allah ada tanpa arah dan tanpa tempat.
Perkataan al-Imam ath-Thahawi di atas juga merupakan bantahan
terhadap pengikut paham Wahdah al-Wujud; mereka yang berkeyakinan bahwa
Allah menyatu dengan makhluk-makhluk-Nya,
juga sebagai bantahan atas pengikut paham Hulul; mereka yang
berkeyakinan bahwa Allah menempati sebagian makhluk-Nya. Dua keyakinan
ini adalah kekufuran berdasarkan Ijma' (konsensus) seluruh orang Islam
sebagaimana dikatakan oleh al-Imam as-Suyuthi (w 911 H) dalam kitab
al-Hawi Li al-Fatawi, dan Imam lainnya.
Para Imam panutan kita dari ahli tasawuf sejati seperti al-Imam
al-Junaid al-Baghdadi (w 297 H), al-Imam Ahmad ar-Rifa'i (w 578 H),
Syekh Abd al-Qadir al-Jailani (w 561 H) dan semua Imam tasawwuf sejati;
mereka semua selalu mengingatkan orang-orang Islam dari para pendusta
yang menjadikan tarekat dan tasawuf sebagai sebagai wadah untuk meraih
dunia, padahal mereka berkeyakinan Wahdah al-Wujud dan Hulul.
Dengan demikian keyakinan ummat Islam dari kalangan Salaf dan Khalaf
telah sepakat bahwa Allah ada tanpa tempat dan arah. Sementara keyakinan
sebagian orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya; mereka yang
berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas Arsy, adalah
keyakinan sesat. Keyakinan ini adalah penyerupaan Allah dengan
makhluk-Nya, karena duduk adalah salah satu sifat manusia. Para ulama
Salaf bersepakat bahwa barangsiapa yang menyifati Allah dengan salah
satu sifat di antara sifat-sifat manusia maka ia telah kafir,
sebagaimana hal ini ditulis oleh al-Imam al-Muhaddits as-Salafi Abu
Ja’far ath-Thahawi (w 321 H) dalam kitab aqidahnya yang terkenal dengan
nama “al-‘Aqidah ath-Thahwiyyah”. Beliau berkata:
" وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِي اْلبَشَرِ فَقَدْ كَفَر "
"Barang siapa mensifati Allah dengan salah satu sifat dari sifat-sifat manusia, maka ia telah kafir”.
Padahal telah diketahui bahwa beribadah kepada Allah hanya sah
dilakukan oleh orang yang meyakini bahwa Allah dan tidak
menyerupakan-Nya dengan sesuatu apapun dari makhluk-Nya.
Al-Imam al-Ghazali berkata:
"لاَ تَصِحُّ اْلعِبَادَةُ إلاّ بَعْدَ مَعْرِفَةِ الْمَعْبُوْدِ"
“Tidak sah ibadah (seorang hamba) kecuali setelah mengetahui (Allah) yang wajib disembah”.
Hal itu karena beriman kepada Allah dengan benar adalah syarat
diterimanya amal saleh seseorang, tanpa beriman kepada Allah dengan
benar maka segala bentuk amal saleh tidak akan diterima oleh Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar